SENI PERTUNJUKAN Reog memiliki banyak ragam dan variasi yang berkembang di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur dan sekitarnya. Bahkan seni reog juga berkembang diberbagai belahan dunia. Kata ’Reog’ tidak hanya tentang jenis seni pertunjukan yang berasal dari Indonesia dan sebagai aset Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang sudah terdaftar di level UNESCO. Reog juga menjadi identitas sekaligus jargon suatu daerah. Seperti di daerah Ponorogo yang dikenal sebagai Kabupaten atau Kota Reog. ’Ponorogo’ juga menjadi salah satu nama dari ragam jenis reog yang ada di Indonesia.
Ragam jenis seni pertunjukan Reog, diantaranya: Reog Ponorogo, Reog Kendang/Reog Tulungagung, Reog Sentherewe/Reog Banyuwangi , Reog Jaran Kepang/Kuda Lumping yang berkembang di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, Reog Magis/Reog Ritual yang berkembang di wilayah Jawa Timur sekitar Blitar, Nganjuk dan Trenggalek, Reog Gendruwon Ayon-ayon yang berkembang di wilayah Bojonegoro dan Blora (Jawa Tengah). Dari berbagai ragam jenis seni pertunjukan Reog tersebut muncul pertanyaan mengapa ’Reog Ponorogo’ menjadi ikon seni pertunjukan Reog yang paling dikenal. Kemudian bagaimana strategi perjalanan budaya para seniman/budayawan, masyarakat beserta Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah mampu menata dan mengelola adanya aset seni pertunjukan Reog sampai menjadi produk budaya seni pertunjukan ’Reog Ponorogo’ yang mampu menembus level dunia.
Penataan dan pengelolaan yang berkelanjutan sebuah karya seni budaya tentu menjadi metode sekaligus strategi dalam upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya itu sendiri. Khasanah kearifan lokal yang bersemayam dalam produk seni tersebut juga memberikan ruh kekuatan alam bawah sadar sebagai bentuk keyakinan, tradisi budaya masyarakat yang memiliki nilai-nilai spiritual dalam keberlangsungan peradaban kehidupan. Seni pertunjukan tidak hanya untuk pemenuhan hiburan semata sebagai produk industri kreatif, namun juga pemenuhan kebutuhan jiwa spiritual.
Budaya bukanlah produk jadi yang kemudian dinikmati sebagai pemenuhan kebutuhan jiwa raga sesaat yang kemudian hilang begitu saja tergerus oleh budaya impor yang dianggap lebih viral, atraktif dan memiliki nilai ekonomi yang lebih menguntungkan. Para pegiat seni, masyarakat beserta stakeholder yang kemudian menjadi latah untuk mempelajari dan menggelar produk budaya impor guna mendapatkan capaian target peningkatan pendapatan di sektor ekonomi kreatif. Inilah jebakan ranjau yang menyesatkan kita pada situasi penghianatan yang akan terjadi. Tatkala generasi pewaris budaya tidak lagi memiliki konsistensi keteguhan untuk bagaimana memperthankan aset budaya sebagai salah satu identitas dan karakter bangsa. Para seniman/kreator yang terjebak pada egosentris idealisme pakem dan membius otak jenius yang seharusnya lebih tajam diasah bergesekan dengan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan, riset, teknologi seni yang berkembang mengikuti zaman.
Perang budaya sudah berlangsung dan tidak pernah ada gencatan senjata, ini bukanlah wacana tentang perang ekonomi dagang yang hanya mengandalkan jual produk seni dari panggung ke panggung, tetapi bagaimana budaya ini menjadi senjata dan strategi mempertahankan, melindungi dan mendapatkan hak-hak atas kekayaan intelektual sebagai bangsa yang berdaulat, berbudaya yang berkelanjutan. Perang budaya mungkin tidak akan pernah usai sampai menemukan siapa yang menang, dan ini bukan cita-cita kita untuk ikut berperang melainkan sebuah perjalanan peradaban bagaimana bangsa yang berdaulat mampu hidup bersama berdampingan dengan selaras menghargai hak masingmasing, sehingga kata perang tidak lagi ada, tetapi keberagaman yang saling menghargai hak satu sama lain.
Bojonegoro memiliki sederet produk seni budaya yang terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Di antaranya seperti: Wayang Thengul, Sandur, Ajaran Masyarakat Samin, Ritus Nyadran Sawuran, Produk Kuliner Ledre, Krupuk Abang Ijo (Klenteheng). Semua ini merupakan bentuk capaian legalitas dokumen yang berfungsi dalam rangka menjaga aset budaya. Akan tetapi ini juga menjadi tantangan kita bagaimana kemudian benar-benar mampu berkembang secara nyata dan dirasakan manfaatnya. Jangan sampai sederet catatan itu hanya menjadi literasi bacaan di rak perpustakaan atau ebook yang hanya berseliweran di dunia maya, akan tetapi mampu berkembang dalam segi bentuk dan tampilan yang kosisten, menarik, serta berkolaborasi satu sama lain pada event budaya yang bergengsi secara periodik. Produk-produk budaya yang benar-benar mampu mendewasakan generasi secara spiritual emotion, meningkatkan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama. Tentu kita perlu bersinergi bersama para pegiat seni budaya, pemerintah, masyarakat dan stakeholder secara keseluruhan sesuai perannya masingmasing.
Bagaimana dengan Seni Pertunjukan Reog Gendruwon Ayon-ayon yang juga pernah ada dan berkembang di wilayah Bojonegoro, tepatnya berada di wilayah Bojonegoro bagian barat. Kesenian ini masih ada dan beberapa komunitas masih aktif mementaskannya. Kita berharap seni pertunjukan ini dapat menambah deretan jumlah Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kabupaten Bojonegoro. Seni pertunjukan ini bersifat kolosal, dan beberapa pertunjukan yang pernah kita saksikan ada beberapa rangkaian kegiatan ritual yang dilakukan sebelum mementaskannya, terutama dalam rangka acaraacara yang menjadi rutinitas tradisi.
Dari kegiatan tradisi inilah kita mampu menangkap potensi adanya aset budaya yang wajib kita jaga kelestariaanya. Ada dua aspek yang dapat kita temui pada seni pertunjuan seni Reog Gendruwon Ayon-ayon, yakni dari aspek ritus dan aspek seni.
Beberapa kerangka strategi akan dijabarkan dalam beberapa schedule aksi sebagai langkah awal untuk mewujudkan peluang ini. Pertama:mengumpulkan data kajian dan melakukan riset ilmiah secara berkelanjutan, kedua: membuat agenda pertunjukan atraktif dan berkualitas, ketiga: menyusun strategi promosi, dan yang kelima: melakukan upaya pencatatan warisan budaya tak benda. Mungkin akan ada tambahan lagi untuk melengkapi serangkaian tahapan selanjutnya.
Siapa saja yang terlibat berperan dalam aksi nyata ini, tidak lain adalah para pegiat seni itu sendiri baik secara individu maupun komunitas untuk selalu mengembangkan diri secara pengetahuan dan ketrampilan, stakeholder, para peneliti, pemerintah, media, konten kreator, event organizer, dan para art worker baik secara langsung maupun tidak langsung aktif membangun atmosfer tentang seni Reog Gendruwon Ayon-ayon. ***
Penulis: Hendro Lukito
(Seniman, Sekretaris Dewan Kebudayaan Bojonegoro)
