Bojonegoro, Waskat.id – Gempita penetapan Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro sebagai Kampung Thengul tidak bisa lepas dari sosok Dhalang Wayang Thengul, Mbah Suwarno (63 tahun) asal Dusun Kedungkrambil, Desa Sumberjo, Kecamatan Margomulyo.
Mbah No, begitu panggilan akrabnya, terjun kedunia seni pedalangan sejak tahun 1978. Ia merupakan satu-satunya Dhalang Wayang Tengul di Kecamatan Margomulyo dan sekitarnya. Maka tidaklah heran jika nama Mbah No kemudian menjadi magnet sekaligus inspirator bagi pejabat di Bojonegoro untuk menyulap Kecamatan Margomulyo menjadi Kampung Tengul.
Dalam waktu sekejap, penetapan Margomulyo menjadi Kampung Thengul langsung viral. Berbagai event pun digeber di Desa tersebut mulai dari pentas wayang Thengul hingga tari Thengul. Dan animo masyarakat untuk berkunjung ke Desa Sumberejo ternyata sangat tinggi, baik masyarakat sekitar Margomulyo maupun dari luar daerah seperti pencinta seni wayang Thengul, youtuber hingga mahasiswa dan Perguruan Tinggi yang ingin melakukan penelitian tentang Wayang Tengul.
Mbah No Jadi Publik Figur
Sosok Mbah No sebagai magnet dan inspirator Kampung Thengul kemudian menjadi bahan perbincangan masyarakat di desanya. Bahkan banyak tamu dari berbagai daerah menyorot kehidupannya serta komunitas seni wayang Thengul yang dirintisnya sejak 1978.
’’Betul. Banyak tamu datang menemui saya. Mereka bertanya tentang perjalanan hidup saya dan pelestarian seni wayang Thengul,’’ kata Mbah No kepada Waskat.id yang berkunjung ke rumahnya.
Pertanyaan demi pertanyaan para tamu dijawabnya dengan detil. Mulai dari sejarah keberadaan wayang Thengul di Desa Sumberejo hingga kehidupannya sehari-hari. ’’Ada tamu yang menulis dalam buku catatan, ada yang merekam audio, ada juga yang merekam dengan video,’’ ungkap Mbah No.
Tidak Punya Gamelan
Berbagai tamu yang datang ke Desa Sumberejo terbelalak kaget. Karena saat mereka melintas di jalan raya tidak menemukan identitas Kampung Thengul seperti yang terbayang dalam benaknya.
Meskipun demikian faktanya namun Mbah No tetap tetap tegar menghadapi realita yang ada. ’’Kawontenanipun pancen kados mekaten niki. Tapi yen wonten kegiatan nggih rejo (Situasinya memang seperti ini. Namun jika ada kegiatan ya ramai),’’ kata Mbah No sambil menyeka keringat didahinya.
Mbah No menekuni kesenian tradisional wayang Thengul sebagai Dhalang sudah 45 tahun lamanya. Dia sudah pentas diberbagai daerah seperti Ngawi, Madiun, Nganjuk, Lamongan dan Surabaya. Bahkan, Mbah No juga pernah pentas wayang Thengul ditonton langsung oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, serta pernah dapat job pentas di rumahnya Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, di Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo, Kab. Bojonegoro.
’’Sampun kaping kalih kula angsal undangan pentas dhateng dalemipun Pak Menteri (Sudah dua kali saya dapat undangan pentas di rumahnya Pak Menteri),’’ tutur Mbah No sembari tersenyum bangga.
Namun ketika ditanya oleh Waskat.id mengenai jenis gamelan yang dimilikinya untuk mengiringi pentas, tiba-tiba Mbah No terdiam. Lalu menundukkan kepalanya, sejenak.
’’Nyuwun ngapunten, Mas. Wiwit rumiyin kula dereng gadhah gamelan. Yen ajeng pentas nyewa gamelan dhateng Meduri (Mohon maaf, Mas. Sejak dulu saya belum punya gamelan. Jika akan pentas nyewa gamelan di Desa Meduri),’’ kata Mbah No sedih. Matanya berkaca-kaca. Untuk sekali sewa gamelan, Mbah No harus mengeluarkan uang lebih dari lima ratus ribu.
Menurut Mbah No, ia pernah dijanjikan oleh seorang pejabat di Bojonegoro akan dibelikan seperangkat gamelan. Namun tampaknya janji itu tinggal janji yang takkunjung terealisasi meskipun sudah dua tahun dinanti-nanti.
’’Saumpami ditumbaske mesthine tambah sae. Mbenjangipun saget ugi kangge latian nggulawentah lare-lare dhateng mriki,’’ kata Mbah No dengan suara lirih. Maksudnya, jika benar nantinya dibelikan gamelan oleh pejabat/pemerintah tentu semakin bagus. Dan nantinya gamelan tersebut bisa digunakan untuk belajar anak-anak sebagai generasi penerus yang akan melestarikan wayang Thengul.
Mbah No pada pertengahan bulan Mei ini dapat job pentas di studio TVRI di Surabaya. Tidak tanggung-tanggung, diusianya yang lebih dari setengah abad ini Mbah No diminta pentas untuk menyajikan 5 lakon dalam kisah Wayang Thengul, yaitu: Angling Dharma Daup Setyowati, Angling Darma jadi Mliwis, Joko Tarub, Brawijaya Dadi Ratu, dan Wiratmaya Daup dengan Retno Kumolo. Sedangkan saat pentas di rumah Menteri Sekretaris Negara Mbah No mengusung lakon berjudul Kebo Marcuwet dan Marmoyo Mbangun Gapura Talkondho.
Mbah No lahir di Dusun Kedungkrambil Desa Sumberejo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro pada tahun 1960. Ia menikah dengan wanita bernama Supini, dan kemudian dikaruniai tiga orang anak yaitu Sulastri, Sri Mulyani dan Pujiono. Dan ketiga anaknya, Mbah No memiliki tiga cucu. ***
Wartawan: Kang Zen Samin