Bojonegoro, Waskat.id – Di jantung Jawa Timur, di tanah Bojonegoro yang subur, sebuah tekad membara telah dicanangkan. Bukan sekadar angka, melainkan impian yang diukir pada cakrawala harapan: menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,98% pada tahun 2026. Angka yang kini bertengger di 11,69% pada 2024, setara dengan 147.330 jiwa atau 54.000 kepala keluarga, termasuk 9.400 kepala keluarga yang terjerat kemiskinan ekstrem, seolah menjadi tantangan yang harus ditaklukkan.
Di bawah nahkoda kepemimpinan Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah, Bojonegoro kini berlayar dengan tiga bintang penuntun: menekan kemiskinan, memacu pertumbuhan ekonomi, dan mengangkat harkat Indeks Pembangunan Manusia. Wakil Bupati Nurul Azizah, dengan sorot mata penuh keyakinan, saat rapat Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di ruang Angling Dharma yang megah, menuturkan target itu.
”Pada 2025, angka kemiskinan akan turun menjadi 10,37%, dan puncaknya, pada 2026, akan menyentuh 8,98%,” ucapnya, seolah merangkai janji pada setiap jiwa yang mendengarkan.
Perjalanan ini bukanlah solo, melainkan simfoni kolaborasi. Pemkab Bojonegoro merangkul erat berbagai pihak, termasuk Badan Pusat Statistik (BPS), untuk menyelaraskan data, agar setiap langkah intervensi tak ubahnya anak panah yang menancap tepat di sasaran.
Pj Sekretaris Daerah Bojonegoro, Andik Sudjarwo, dengan cermat memaparkan strategi yang telah dirajut. Sebuah anyaman program yang dirancang untuk meringankan beban pengeluaran, bagaikan selimut hangat bagi mereka yang kedinginan. Ada program KUSUMO (Kunjungan Kasih untuk Masyarakat Bojonegoro) yang menebar sentuhan empati, Darsila yang menjamin dua kali makan sehari bagi lansia sebatang kara, serta bantuan sosial yang mengalir ke setiap rumah tangga miskin dan sangat miskin.
Tak hanya itu, ada pula tenaga pendamping lansia, beasiswa pendidikan yang membuka gerbang ilmu, perbaikan rumah tak layak huni, pemasangan listrik, hingga santunan bagi anak yatim.
Namun, mengulurkan tangan saja tak cukup. Bojonegoro juga ingin mengajari warganya memancing. Strategi peningkatan pendapatan digulirkan dengan semangat. Program GAYATRI (Gerakan Ayam Petelur Mandiri), KOLEGA (Kolam Lele Keluarga), domba sejahtera, bantuan bibit sayuran, stimulan BUM Desa, pelatihan kerja, pembangunan IPAH, revitalisasi embung, dan listrik masuk sawah, semuanya dirancang untuk membangkitkan kemandirian.
Bahkan, bibit buah sistem tumpang sari di lahan Perhutani dan pinjaman modal melalui kartu pedagang produktif pun turut menjadi bagian dari upaya ini, seolah menabur benih-benih harapan di setiap lahan dan hati.
Terakhir, namun tak kalah penting, adalah peningkatan konektivitas wilayah. Sebuah jembatan kokoh yang menghubungkan setiap sudut kehidupan. Telemedicine hadir mendekatkan layanan kesehatan, RSUD yang naik kelas A dengan fasilitas jantung terpadu siap menjadi penyelamat, pembangunan sarana prasarana pendidikan adalah investasi masa depan, infrastruktur jalan dan jembatan adalah nadi perekonomian, sementara sarana keolahragaan dan pariwisata adalah penghela kebahagiaan.
”Tentu ketiga strategi ini tidak bisa dilakukan Pemkab sendiri,” pungkas Andik, dengan nada penuh harap.
”Kontribusi dan partisipasi termasuk akademisi, stakeholder, tokoh masyarakat, dan kelembagaan lainnya bisa bersama-sama mendukung program strategi yang telah dicanangkan oleh Pemkab Bojonegoro.” Sebuah seruan untuk bahu-membahu, sebuah ajakan untuk merajut asa, demi Bojonegoro yang lebih sejahtera, di mana kemiskinan hanyalah cerita usang di lembaran sejarah. ***
Wartawan: Yonathan Rahardjo
