BAHASA JAWA, sebagai warisan budaya tak benda yang tak ternilai, menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan eksistensinya di era modern. Di Bojonegoro, upaya pelestarian bahasa Jawa menjadi krusial untuk memastikan identitas budaya lokal tetap lestari dan diturunkan kepada generasi mendatang.
Tantangan Pelestarian
Beberapa tantangan utama dalam pelestarian bahasa Jawa di Bojonegoro meliputi:
a. Pengaruh Globalisasi dan Bahasa Asing: Dominasi bahasa Indonesia dan bahasa asing, terutama di media sosial dan hiburan, secara tidak langsung menggeser penggunaan bahasa Jawa, khususnya di kalangan anak muda.
b. Kurangnya Minat Generasi Muda: Banyak kaum muda di Bojonegoro yang merasa kurang relevan atau bahkan malu menggunakan bahasa Jawa, terutama ragam krama inggil. Mereka cenderung memilih bahasa Indonesia karena dianggap lebih modern dan universal.
c. Keterbatasan dalam Lingkungan Formal: Penggunaan bahasa Jawa di lingkungan pendidikan formal dan kantor masih terbatas. Kurikulum sekolah seringkali tidak memberikan porsi yang cukup untuk pengajaran bahasa Jawa secara mendalam.
d. Pergeseran Pola Komunikasi Keluarga: Di banyak keluarga, orang tua dan anak-anak lebih sering berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, mengurangi frekuensi penggunaan bahasa Jawa di rumah, yang merupakan benteng terakhir pelestarian bahasa.
Strategi Pelestarian yang Perlu Diperkuat
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, beberapa strategi pelestarian bahasa Jawa di Bojonegoro perlu diperkuat dan diimplementasikan secara holistik:
1. Revitalisasi di Lingkungan Keluarga dan Masyarakat:
Peran Orang Tua: Orang tua harus menjadi garda terdepan dalam mengenalkan dan membiasakan anak-anak mereka berbicara bahasa Jawa sejak dini. Penggunaan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari di rumah akan membangun fondasi yang kuat.
Komunitas dan Sanggar Budaya: Mengaktifkan kembali sanggar-sanggar atau komunitas yang fokus pada pembelajaran dan praktik bahasa Jawa melalui seni pertunjukan (ludruk, ketoprak, wayang, sandur), tembang, atau dolanan tradisional.
2. Peningkatan Peran Pendidikan Formal:
Kurikulum yang Menarik: Mata pelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu dibuat lebih menarik dan interaktif, tidak hanya fokus pada tata bahasa, tetapi juga pada praktik percakapan dan apresiasi sastra Jawa.
Ekstrakurikuler: Mengadakan kegiatan ekstrakurikuler yang mendorong penggunaan bahasa Jawa, seperti lomba pidato bahasa Jawa, mendongeng dalam bahasa Jawa, atau pementasan drama tradisional.
3. Pemanfaatan Teknologi dan Media Digital:
Konten Digital Berbahasa Jawa: Mendorong pembuatan konten-konten digital yang menarik dalam bahasa Jawa (video pendek, podcast, tutorial) yang relevan dengan minat generasi muda.
Media Sosial: Mengkampanyekan penggunaan bahasa Jawa di media sosial dan membuat tantangan-tantangan menarik yang melibatkan bahasa Jawa.
4. Dukungan Pemerintah Daerah:
Kebijakan Afirmatif: Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dapat mengeluarkan kebijakan yang mendukung penggunaan bahasa Jawa dalam acara-acara resmi atau instansi pemerintah pada hari-hari tertentu.
Anggaran Pelestarian: Mengalokasikan anggaran khusus untuk program-program pelestarian bahasa Jawa, termasuk pelatihan guru, penyediaan materi ajar, dan dukungan untuk komunitas budaya.
Penghargaan: Memberikan penghargaan kepada individu atau komunitas yang secara aktif berkontribusi dalam pelestarian bahasa Jawa.
Kesimpulan
Pelestarian bahasa Jawa di Bojonegoro bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga tertentu, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. Dengan sinergi antara keluarga, sekolah, komunitas, dan pemerintah, diharapkan bahasa Jawa tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan tetap relevan di tengah gempuran modernisasi. Melestarikan bahasa Jawa berarti menjaga akar identitas dan kekayaan budaya Bojonegoro untuk generasi yang akan datang. ***
Penulis: Yonathan Rahardjo, Komite Sastra Dewan Kebudayaan Bojonegoro, aktivis Sanggar Sastra Djajus Pete
