Bojonegoro, Waskat.id – Tradisi baik mencerminkan budi pekerti luhur. Para leluhur pendahulu kita sudah punya tradisi baik sedari dulu, yang menjadi cermin kepribadian bangsa yang patut diteladani, dipelihara dan dilestarikan.

Adalah Bupati Bojonegoro, Setyo Wahono, baru-baru ini memberi contoh mempertahankan budaya nglayat di daerahnya. Orang nomor satu di Kabupaten Bojonegoro ini tanpa canggung ikut memanggul keranda jenazah dalam upacara pemberangkatan jenazah warga yang dilayatnya.

Setyo Wahono sepertinya tengah memberi isyarat kepada masyarakat yang dipimpinnya untuk melestarikan tradisi nglayat demi mempertahankan budaya seduluran dan gotong-royong kemanusiaan, yang nyaris punah digerus zaman.

Nglayat juga sarat dengan ajaran Jawa ”Mikul dhuwur mendhem jero” terhadap terhadap orang yang meninggal dunia. Artinya, mengingat-ingat dan menceritakan kebaikan orang yang sudah meninggal dan melupakan semua kesalahan dan kekurangannya.

Tim Waskat.id pun melakukan dialog dengan para pelaku budaya dan pegiat sosial kemasyarakatan guna memaknai tradisi baik yang masih dilakukan oleh Bupati Setyo Wahono.

Menurut Manan, Ketua PIPRB (Perkumpulan Independen Peduli Rakyat Bojonegoro), apa yang diteladankan Bupati Wahono itu bukan hanya tradisi baik, tetapi juga cermin kepribadian yang berbudi pekerti luhur.

’’Beliau sama sekali tidak melakukan pencitraan karena ikut memanggul keranda jenazah dilakukan sejak awal menjabat sebagai bupati. Kalau aktivitas melayat sekaligus memanggul keranda jenazah itu dilakukan diakhir masa jabatan, beda lagi ceritanya,’’ kata Manan.

Sementara itu Ketua Wahana Abdi Budaya, Kang Zen Samin, mengatakan, kepribadian Bupati Wahono sudah terbentuk sedari dulu. Saat masih remaja, Setyo Wahono terbiasa ikut memanggul keranda jenazah tetangganya yang meninggal dunia. Dia ikut mengantarkan jenazah sampai ke pemakaman.

Kebiasaan Setyo Wahono selain memanggul keranda jenazah saat takziyah juga berjabat tangan atau bersalaman selalu membungkukkan badan. Kebiasaan ini sepertinya sulit dihilangkan meski dia sudah menjabat bupati.

’’Lazimnya kebiasaan, tentu sulit dilupakan karena sudah terbentuk sejak kecil,’’ kata Kang Zen Samin.

Budaya masyarakat Dolokgede tempat kelahiran Bupati Setyo Wahono, menjadi catatan hidup tentang kepribadian dan budaya masyarakat yang menjunjung nilai-nilai moral serta budaya yang beradab.

Tim Waskat.id sendiri mengamati hal yang dilakukan Bupati Setyo Wahono. Dia terlihat begitu peduli saat mengulurkan tangan membantu proses pemberangkatan jenazah hingga pemakaman warga, juga dilakukan oleh banyak warga yang lain.

’’Itu semua cermin kepedulian dan empati serta sikap gotong royong yang hidup subur dimasyarakat kita,’’ tutur Kang Zen seraya menambahkan bahwa budaya ini sangat bagus dan patut dilestarikan.

Kang Zen Samin menambahkan, ihwal perkembangan media dan alat yang dipakai oleh masyarakat dari masa ke masa dalam pemakaman jenazah. Pada zaman dulu kerandanya berbeda. Bukan seperti keranda sekarang yang permanen dengan perlengkapan penutup kain yang membuat keranda terlihat rapi.

Dulu, keranda dibuat dari bambu. Membuatnya mendadak saat ada warga yang mati. Masyarakat bersama-sama menebang bambu dan merakitnya jadi keranda. Penutup keranda berupa tikar dari anyaman daun pandan, kemudian dihias dengan janur melengkung. Masyarakat dengan rela hati gotong-royong membuat keranda. Sementara warga lainnya mengambil daun pisang untuk alas sembahyang.

Semua peralatan yang mesti disediakan itu secara sukarela dan gotong royong disediakan oleh penduduk secara spontan. ’’Keranda dari bambu pada waktu itu diikutkan sekalian dikubur bersama jenazah. Jika ada warga yang mati bikin keranda baru,’’ ungkapnya.

Sekarang, keranda dibuat menggunakan besi stainles, dan atau kayu untuk mengangkat keranda, serta papan kayu yang mudah tersedia untuk menutup liang lahat setelah jenazah ditata didasar tanah setelah digali untuk lubang makam.

Spontanitas memanggul keranda dalam upacara pemberangkatan jenazah merupakan cermin karakter dan perilaku baik sehari-hari para pelakunya, termasuk Bupati Setyo Wahono.

Tradisi lain yang menyertai pemberangkatan jenazah yaitu brosotan bagi anak kecil dan remaja. Dengan melakukan brosotan (berjalan merunduk dibawah keranda yang dipikul) memiliki tujuan agar anak-anak memiliki jiwa tangguh setelah ditinggal mati orang tuanya atau kakek dan neneknya. Tradisi brosotan juga memiliki nilai tinggi dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Nglayat atau sekarang dikenal sebagai takziyah merupakan bentuk solidaritas kemanusiaan dan penghormatan terakhir terhadap orang yang mati atau orang yang lebih dulu dipanggil oleh Tuhan Sang Pemilik Kehidupan,’’ kata Kang Zen Samin.

Demikian juga tindakan spontan Bupati Wahono dalam ikut memanggul keranda, adalah bentuk penghormatan kepada almarhum.

Budaya baik nan luhur warga Bojonegoro seperti ini, lekat erat dengan simbol-simbol kehidupan. Simbol-simbol ini penuh makna positif. Dunia simbol dalam budaya memang membebaskan penafsiran terhadapnya. Penafsiran yang luhur atas sebuah simbol mencerminkan keluhuran juga. ***

Wartawan: Ellisabeth Dharmayantie

By Admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *