Bojonegoro, Waskat id – Desa Ngraho, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro merupakan fenomena spektakuler perpaduan kemajuan teknologi dan tradisi budaya luhur. Tim Waskat.id menjadi saksi ketika berada di area makam Eyang Soeto Prodjo (Mbah Pung) dilengkapi dengan situs perahu besi peninggalan zaman kuno, sekitar tahun 900 Masehi.
Berdiri disamping pintu makam menghadap ke jalan raya Bojonegoro – Cepu, dipisahkan hamparan sawah, tampak di seberang jalan adalah pusat pengeboran minyak Banyu Urip Gayam Bojonegoro dengan kemilau lampu dan api malam diujung pipa-pipa pengeboran minyak. Terlihat sangat indah dimalam hari.
Adalah perjuangan Mbah Towo dan kawan-kawan, yang memiliki tanggung jawab besar untuk memelihara peninggalan nenek moyang menjadi situs bersejarah. Disitu telah berdiri pusat wisata sejarah dan religi yang terus mengembangkan diri dengan fasilitas demi fasilitas yang lebih memadai.
Bermula dari cerita gugon tuhon penduduk sekitar akan ada seorang lurah bujang yang akan disunting oleh perawan sunthi (orang tuanya meninggal saat ia masih dalam kandungan). Kemudian lurah itu mendapat mimpi tentang kapal besi yang ditemukan di kedung (cekungan dalam) di Bengawan Solo di Desa Ngraho itu.
Dan ternyata benar jadi kenyataan. Pada tahun 1997 Drs. Sutowo Rahadi yang menjadi Kepala Desa Ngraho dengan posisi seperti di dalam cerita turun temurun warga desa itu.
Kurang tiga tahun masa jabatannya sebagai kepala desa habis, Lurah Towo bersama warganya berhasil mengangkat perahu besi dari dalam kedung. Bagian pertama perahu diangkat ke pesarean (punden) pada tanggal 27 Juni 2013.
’’Kami bersama warga bergotong-royong bahu membahu mengangkat perahu. Sebuah resiko kematian pun kami lewati pada saat itu karena saat kami mengangkat perahu justru Bengawan Solo dalam keadaan banjir besar,’’ kata Mbah Towo didampingi warga setempat.
Berbagai versi menyatakan perahu besi kuno sudah ada pada tahun 1300, 1600, 1700, dan ada yang tahun 700. Masing-masing pendapat mempunyai dasar. Saat perahu ada tampak dibuat menggunakan teknik keling atau menyambungkan dengan paku.
Saat ditemukan kondisi perahu rusak parah. ’’Awal ketemu rusak, besi berkelok. Jadi perlu mengencangkan, dikenteng,’’ ujar Drs. Sutowo seraya menambahkan, butuh tiga tahun untuk mengenteng atau restorasi. Ada bagian perahu yang lubang. Ditambal dengan plat besi, tampak di perahu itu untuk mengenteng besi yang campurannya lebih dari 10 jenis.
“Pembuatan perahu belum teknologi las. Bahan yang digunakan membuat perahu menggunakan logam yang campurannya lebih dari sepuluh jenis,” ungkap Sutowo.
Kondisi situs perahu besi sekarang sudah tergolong bagus dengan berbagai perlengkapan lokasi perahu besi berdampingan dengan lokasi makam Mbah Soeto Prodjo. Ini berkat berbagai bantuan datang dari berbagai pihak.
Ini berkat kegigihan Mbah Towo dan kawan-kawan termasuk dukungan dari mitra seperjuangan seperti Kang Zen Samin, yang pada malam hari (20/3 2025) itu memberikan tips-tips lanjutan pengembangan lokasi dalam wadah Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dengan berbagai kebutuhan dan persyaratan pengembangan.
’’Kami ingin mengembangkan situs cagar budaya perahu besi kuno ini menjadi kawasan wisata sejarah dan religi. Tujuannya untuk menjaga kelestarian sejarah, memberikan edukasi pada generasi muda tentang kehebatan leluhur Nusantara pada masa silam, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar,’’ kata Mbah Towo sembari membakar dupa yang baunya harum mewangi.
Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan untuk memelihara warisan budaya tinggi nenek moyang kita. Yang lokasinya berdampingan dengan pesatnya kemajuan teknologi pengeboran minyak di Kabupaten Bojonegoro. ***
Wartawan: Elizabeth Vitta
